Indo2Global.com – Kekhawatiran mengenai potensi eskalasi lebih lanjut dari perang multi-front yang melibatkan Israel di Timur Tengah semakin mencuat pada Senin (30/9/2024). Hal ini dipicu oleh pidato yang disampaikan oleh Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu, yang ditujukan kepada rakyat Iran. Dalam pidato tersebut, Netanyahu menegaskan keyakinannya bahwa Iran akan segera “bebas” dari kepemimpinan teokratis yang saat ini berkuasa.
Netanyahu, yang berbicara dalam bahasa Inggris, menuduh pemimpin Iran telah membawa wilayah tersebut ke dalam kegelapan. “Ketika Iran akhirnya bebas, dan momen itu akan datang jauh lebih cepat daripada yang dipikirkan orang, semuanya akan berbeda,” ungkapnya. Ia juga mengklaim bahwa jaringan yang dibangun oleh rezim Iran di berbagai belahan dunia akan runtuh dan dibubarkan pada saat itu. Menurutnya, setelah kebebasan itu tercapai, Iran akan mengalami pertumbuhan pesat yang belum pernah terjadi sebelumnya.
Pernyataan Netanyahu ini menuai reaksi beragam. Beberapa pengamat menganggap bahwa pidato tersebut tidak hanya merupakan bentuk provokasi, tetapi juga mencerminkan keinginan pemimpin sayap kanan Israel untuk menunjukkan kekuatan, meskipun dengan cara yang berpotensi merugikan kelompok-kelompok tertentu di dalam dan di luar Iran. “Netanyahu berusaha menampilkan diri sebagai penyelamat, namun pernyataannya justru bisa menjadi bumerang,” tulis Common Dreams, mengutip analisis para pengamat.
Sebagai reaksi terhadap pernyataan tersebut, Trita Parsi, Wakil Presiden Eksekutif Quincy Institute yang berbasis di AS, menyampaikan pandangannya melalui media sosial. Ia menyebut, “Netanyahu berbicara kepada rakyat Iran — dalam bahasa Inggris dan dengan terjemahan bahasa Inggris. Ia sering berpura-pura berbicara kepada negara yang menjadi target serangan selanjutnya.” Hal ini menunjukkan bahwa Netanyahu memiliki strategi komunikasi yang cenderung mengarahkan perhatian kepada musuh-musuhnya.
Baca juga: AS dan Jerman Sepakat Tempatkan Rudal Jarak Jauh, Rusia Mengancam Respons
Dalam beberapa minggu terakhir, serangan Israel telah melibatkan berbagai negara di kawasan, termasuk Iran, Lebanon, Suriah, Yaman, Tepi Barat, dan Gaza. Data menunjukkan lebih dari 147.000 warga Palestina telah terbunuh atau terluka akibat operasi militer Israel di Gaza, sementara ribuan lainnya juga mengalami nasib serupa di Lebanon. Kejadian tersebut menunjukkan betapa seriusnya dampak dari konflik yang sedang berlangsung.
Pada Jumat (27/9/2024), Pasukan Pertahanan Israel (IDF) dilaporkan menggunakan bom seberat 2.000 pon yang dipasok oleh AS untuk menyerang para pemimpin Hizbullah, termasuk Sekretaris Jenderal Hassan Nasrallah. Serangan tersebut juga menewaskan sejumlah warga sipil yang tidak dapat dipastikan jumlahnya, di area padat penduduk di pinggiran selatan Beirut.
Netanyahu, dalam pernyataan terpisah, menegaskan bahwa tidak ada gencatan senjata permanen yang akan diterapkan di Gaza hingga tujuan perang Israel tercapai. Pernyataan ini menunjukkan ketegasan Israel untuk terus melanjutkan operasi militernya tanpa henti, yang membuat banyak pihak semakin cemas akan dampak lanjutan dari konflik ini.
Komandan Tentara IDF juga dilaporkan marah kepada Netanyahu setelah pernyataan yang merendahkan kemampuan pasukannya dalam menghadapi ancaman dari Hamas. Kekecewaan ini mencerminkan ketegangan yang terjadi tidak hanya di antara pihak-pihak di luar Israel, tetapi juga di dalam struktur militer dan politik Israel sendiri.
Di tengah semua ini, warganet dan pengamat internasional semakin menyuarakan kekhawatiran mereka akan potensi krisis kemanusiaan yang akan muncul akibat terus berlanjutnya konflik. Menurut mereka, tindakan tegas Netanyahu tidak hanya menambah ketegangan di kawasan, tetapi juga dapat mengarah pada dampak yang lebih luas dan berbahaya bagi stabilitas regional.
Sebagai penutup, dengan situasi yang terus berkembang, perhatian dunia kini tertuju pada langkah-langkah selanjutnya dari pemerintah Israel dan respon dari negara-negara di Timur Tengah serta masyarakat internasional. Ketegangan yang semakin meningkat menunjukkan bahwa konflik ini mungkin belum akan menemukan titik akhir dalam waktu dekat, dan upaya diplomasi harus diperkuat untuk mencegah eskalasi yang lebih parah.
Sumber: Tribun.